Penilaian kinerja dipergunakan sebagai alat yang tidak hanya untuk mengevaluasi kerja dari para bawahan. Namun penilaian kinerja dipergunakan juga untuk mengembangkan dan memotivasi bawahan. Di sisi lain penilaian kinerja juga dapat menjadi sumber dari kegelisahan dan frustasi baik bagi manajer maupun bawahannya. Hal ini disebabkan karena adanya ketidakpastian dan standar ganda yang melingkupi banyak sistem penilaian kinerja bawahan.
Banyak organisasi yang telah menghabiskan milyaran dollar bagi program pelatihan tentang prosedur penilaian dalam rangka meningkatkan efektifitas manajemen. Salah satu prosedur penilaian manajerial yang digunakan untuk mendiagnosa masalah-masalah manajemen dan untuk meningkatkan kinerja adalah penilaian bawahan.
Ada tiga alasan utama yang mendukung penggunaan penilaian bawahan, yaitu; pertama, bawahan adalah sumber informasi yang valid karena mereka mempunyai posisi yang baik untuk melakukan observasi dan evaluasi kinerja manajerial dari beberapa dimensi, khususnya dimensi kepemimpinan. Kedua, karena penilaian dilaksanakan secara serempak oleh beberapa bawahan terhadap manajerial, maka penilaian yang berdimensi ganda ini secara potensial memang lebih akurat hasilnya dibandingkan dengan penilaian yang biasa dilakukan yaitu melalui supervisor. Ketiga, sistem penilaian bawahan yang formal sangat cocok dengan model komitmen dan keterlibatan bawahan, sehingga apabila sistem penilaian bawahan ini dapat diimplementasikan dengan tepat maka akan berdampak kepada peningkatan kepuasan kerja dan moral dari para tenaga kerja.
Berbeda dengan penilaian bawahan, maka di sisi lain, hasil penilaian eksekutif yang kelihatannya bagus justru sebenarnya seringkali tidak efektif. Hal ini timbul karena adanya beberapa mitos mengenai sifat eksekutif dan pekerjaannya. Oleh karena itu di bawah ini akan dibahas beberapa hal yang terkait dengan penilaian prestasi.
Paradoksal Penilaian Prestasi Eksekutif
Faktor-faktor penyebab mengapa penilaian prestasi eksekutif tidak efektif adalah adanya mitos-mitos yang akan mempunyai dampak mengganggu tidak hanya kepada para bawahan beserta aspirasinya, juga kepada para eksekutif seniornya. Mitos-mitos tersebut adalah:
- Para eksekutif tidak memerlukan dan menginginkan telaah prestasi yang terstruktur.
- Telaah yang bersifat formal tidak pantas bagi gengsi seorang eksekutif.
- Eksekutif tingkat atas terlalu sibuk untuk mengadakan penilaian.
- Umpan balik yang kurang mendukung otonomi dan kreatifitas pada para eksekutif.
- Hasil akhir hanya digunakan untuk penilaian kinerja eksekutif.
- Evaluasi prestasi eksekutif secara komprehensif tidak dapat dengan mudah digunakan melalui penilaian kinerja formal.
Oleh karena itu, agar supaya hasil penilaian prestasi para eksekutif yang dilakukan dapat digunakan secara efektif, maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
- Lakukanlah sebuah proses penilaian kinerja yang sistematis dan terstruktur.
- Gabungkan perencanaan penilaian kinerja ke dalam proses penilaian dan review.
- Jadikan review dan penilaian kinerja sebagai proses yang berkelanjutan.
- Fokuskan review yang dilakukan kepada proses dan hasil.
- Buatlah penilaian kinerja menjadi sistematik dan komprehensif.
Penilaian kinerja telah menjadi fokus dari aktifitas penelitian yang membingungkan dalam beberapa dekade yang lalu (Bretz, Milkovich & Read, 1992; Fisher, 1989), namun ada juga yang menggunakan penilaian kinerja ini di dalam bisnis dan industri (Murphy & Cleveland, 1991). Sistem penilaian kinerja yang formal telah digunakan untuk sejumlah tujuan yang berbeda, seperti; umpan balik dan program evaluasi keputusan-keputusan di dalam sumber daya manusia (Cleveland, Murphy & William, 1989).
Namun secara substansial sebenarnya semua aktifitas kerja untuk melakukan penilaian kinerja ini difokuskan kepada pengertian dan peningkatan kemampuan dari para penilai kinerja itu sendiri, di mana hal tersebut tentunya sangat dipengaruhi oleh motivasi penilai. Motivasi penilai yang mau memahami dan melakukan penilaian kinerja berdasarkan tujuan dan sasaran dasar penilaian kinerja akan dibatasi oleh determinant motivational seperti; reward, di mana determinan yang penting dari hampir setiap prilaku penilai adalah hasil karya dari nilai reward, misalnya; kenaikan jabatan dan promosi (Kanfer, 1990). Sebagai contoh, pemberian umpan-balik kepada bawahan akan mendorong peningkatan kinerja bawahan yang berdampak kepada peningkatan kinerja unit kerja, sehingga hal ini tentunya akan dapat mendorong peningkatan gaji dan promosi bagi manajer.
Sementara unsur determinant motivational lainnya yang mempunyai paradoksal terhadap penilaian kinerja bawahan adalah adanya konsekuensi negatif yang harus ditanggung oleh perusahaan, seperti; rusaknya hubungan supervisor dengan bawahan, demoralisasi tenaga kerja, kritik dari bawahan, kritik dari supervisor dan gangguan atas tugas-tugas lain. Sebagai contoh, misalnya jika manajer memberikan umpan-balik yang negatif akan dapat merusak hubungan dengan bawahannya.
Konsekuensi negatif di atas juga banyak disebabkan oleh adanya faktor pengaruh manajemen. Hal ini dapat dicontohkan seperti adanya prilaku yang ditunjukkan oleh seorang supervisor di dalam memberikan umpan-balik banyak dipengaruhi oleh bagaimana prilaku atasannya dibandingkan dengan suatu antisipasi yang berdampak kepada bawahannya. Hal ini tentu saja akan menimbulkan resistent to change dari bawahan yang di nilai, di mana mereka akan merasa bahwa penilaian kinerja tersebut mungkin tidak obyektif dan tendensius.
Selain itu, determinant motivational juga akan sangat dipengaruhi oleh dua faktor seperti:
- Faktor situasional, yang terdiri dari;
- akuntabilitas,
- strategi manajemen sumber daya manusia,
- ketergantungan tugas dan hasil,
- kepercayaan,
- bentuk-bentuk penilaian prestasi.
- Faktor pribadi, yang terdiri dari;
- jumlah informasi,
- self-efficacy,
- mood.
Dengan dua faktor yang mempengaruhi determinant motivational ini, maka menimbulkan prilaku penilaian kinerja yang dapat muncul dalam beberapa prilaku seperti; observasi, storage, retrieval, integrasi, rating dan feedback. Jadi dari penjelasan di atas dapat digarisbawahi bahwa efektifitas hasil penilaian kinerja memang sangat tergantung juga kepada motivasi dari penilai kinerja yang bersangkutan.
Oleh karena itu dalam rangka mengurangi efek negatif dari kemungkinan terjadinya error terhadap keputusan yang diambil, maka pimpinan perusahaan diharapkan mampu mendayagunakan sistem evaluasi kinerja bawahan yang dapat mengakomodir semua masukan dari berbagai level organisasi, misalnya seperti sistem 360’.
Dengan sistem 360’, pimpinan perusahaan akan melakukan penilaian dan evaluasi kinerja tenaga kerjanya dengan mendasarkan keputusannya kepada semua informasi yang ada baik dari pandangan pribadi pimpinan, para supervisor, konsultan yang ditunjuk maupun masukan dari tenaga kerja itu sendiri melalui serikat pekerja atau kelompok-kelompok pekerja lainnya yang ada di perusahaan.
Hubungan Insentif Keuangan dengan Kinerja Bawahan
Sebagaimana diakui oleh para ekonom, bahwa usaha yang dilakukan oleh bawahan juga merupakan determinan penting dari outcomes yang dihasilkan. Sehingga dampak dari kebijakan kompensasi perusahaan kepada usaha dan kinerja bawahan dapat dijelaskan dalam dua penjelasan sebagai berikut; pertama, berdasarkan teori ekspektasi (Lawler, 1973) dan teori ekonomi (Lazear, 1986; Brown, 1988) mengatakan bahwa sistem reward performance-contingent dapat mendorong kepada tingkat kinerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem-sistem lain yang tidak dapat mengikatkan pembayaran dengan kinerja, sehingga tenaga kerja juga dapat mengantisipasi bahwa usaha-usaha mereka sekarang akan mendorong kepada penerimaan reward di masa yang akan datang. Kedua, dampak dari sistem kompensasi kepada kinerja terpenting adalah kepada organisasi, sehingga perusahaan tentunya akan mempertimbangkan untung-ruginya dari alternatif sistem-sistem yang dapat memaksimalkan efektifitasnya.
Dari study empiris dapat ditemukan bahwa, pertama, ternyata bonus yang diberikan untuk para manajer, yang mempunyai karekteristik seperti; berposisi tinggi di perusahaan, bekerja di kantor pusat perusahaan dan masih relatif muda usia kerjanya, sangat sensitif berpengaruh terhadap kinerja mereka dibandingkan dengan bonus yang diberikan kepada para manajer yang tidak mempunyai karakteristik seperti yang disebutkan tadi. Kedua, bagi para manajer yang mempunyai karakteristik tadi, bonus yang diberikan perusahaan juga mempunyai dampak kepada pencapaian tingkat kinerja berikutnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan manajer lainnya. Sementara merit-pay ternyata tidak berpengaruh terhadap kinerja berikutnya.